Selasa, Oktober 16, 2012

Foto : UNY 
Foto : UNY
JAKARTA - Menjadi pengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di Tanah Air tentu menyimpan berbagai kisah unik dan menarik. Seperti yang dialami Sri Astuti, alumni program studi (prodi) Pendidikan IPA, Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Tuti, begitu dia biasa disapa, menjadi salah satu peserta SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di SMPN 2 Terangun, Kampung Kute, Gayo Lues, Aceh sebagai guru IPA. Sekolah ini terletak jauh dari pemukiman penduduk dan hanya dikelilingi hutan berbukit dan tidak ada jaringan komunikasi. Bahkan, untuk mendapat air, warga harus ke sungai yang berjarak 800 meter (m) dari sekolah.

Perjalanan dari Blangkejeren, ibu kota kabupaten Gayo Lues, menuju SMPN 2 Terangun memakan waktu sekira 1,5 jam yang ditempuh dengan sepeda motor. Setiap hari gadis yang akrab dipanggil Tuti ini tiba di sekolah pukul 7.45 WIB karena sekolah dimulai pukul 08.00 WIB. Tuti bertutur, SMPN 2 Terangun terdiri dari enam ruang kelas yang terdiri dari 20 siswa tiap kelas. Terdapat delapan guru bidang studi dan seorang kepala sekolah di sekolah tersebut.

Menurut Tuti, mengajar di sekolah tersebut membuatnya harus lebih kreatif. “Fasilitas di sekolah sangat minim. Sehingga untuk mengajar mata pelajaran yang harus ditunjukkan dengan visual, kami harus pandai-pandai membuat alat peraganya. Padahal bahan-bahan yang  dibutuhkan belum tentu ada di kecamatan dan kami harus pergi ke kota yang jaraknya sekira 80 km,” ujar Tuti, seperti dinukil dari laman UNY, Kamis (9/8/2012).

Demikian juga dengan pelajaran olahraga. Mata pelajaran yang seharusnya dilakukan di lapangan justru diajarkan di dalam kelas karena ketiadaan fasilitas. Maka, siswa sekadar mengerti bola basket tanpa pernah mengerti bagaimana bentuk dan wujudnya.

Pengalaman mengajar di daerah tersebut juga membuatnya belajar ekstra sabar karena keterbatasan daya tangkap murid-muridnya serta belum semuanya  pandai berbahasa Indonesia. “Rencana program pembelajaran yang kami buat standarnya untuk dua kali pertemuan, di sini bisa untuk empat kali pertemuan,” ungkapnya.

Berbagai keadaan yang sangat menantang itu, tidak menyurutkan semangat Tuti dalam mengajar murid-muridnya. Bayangan murid-muridnya pergi ke sekolah pada pukul 06.00 WIB yang sangat dingin dengan berjalan kaki dan menempuh jarak rata-rata 6 km dan kondisi jalan berlumpur terus memacu semangatnya. "Membayangkan semua ini dan membayangkan semangat mereka untuk belajar, rasanya sangat malu pada mereka, ketika semangat saya sempat luntur,” tuturnya.

Tuti yang sangat menyayangi murid-muridnya sering merasa terharu ketika melihat baju dan sepatu mereka penuh lumpur. Adapula beberapa baju dan belum sempat dijahit karena sang ibu masih di kebun. Aroma tidak sedap kerap tercium di dalam kelas karena mereka mengenakan seragam yang sama selama tiga hari.

Menurut dara kelahiran 5 Agustus 1989 ini, sebagian besar orangtua murid-muridnya di Gayo Lues adalah petani. Selama Senin hingga Sabtu mereka tinggal di kebun yang terletak di atas bukit yang jauh dari rumah dan hanya pulang pada Minggu saat ada pekan (pasar), untuk membeli berbagai keperluan.

Terlepas dari semua pengalaman yang dirasakannya, Tuti mengaku sangat bangga bisa mendapat kesempatan mengajar di daerah 3T. Menurut Tuti, pengalaman tersebut sangat luar biasa karena selama di sana dia tidak hanya berkutat dengan mengajar di sekolah saja tetapi juga melakukan posdaya masyarakat.

"Di antaranya membimbing anak-anak kampung mengaji, mengajarkan tarian kreasi baru, melakukan pengecekan golongan darah siswa, dan melakukan penataan taman sekolah agar nampak indah sehingga siswa senang dan nyaman berada di sekolah. Semuanya akan menjadi bekal saya untuk menjadi guru profesional," imbuhnya
sumber: http://kampus.okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar