Belajar dari Ibrahim as
Maka, contohlah Ibrahim. Bapak para Nabi itu. Ia adalah AYAH HEBAT dalam sejarah, krn :
Pertama,
dua anaknya juga menjadi Nabi, yaitu Nabi Ismail dan Ishak. Dari
keturunan Ismail pula kelak lahir Muhammad, sang nabi pamungkas. Dari
sudut pandang pendidikan, Ibrahim adalah seorang ayah yang sukses mendidik anaknya.
Kedua, mengasuh dari jauh dengan doa yang khusyuk. Pada
kondisi tertentu, seorang ayah bisa berjauhan secara geografis. Tapi
ini bukan lasan untuk lepas tangan dari mendidik anak. Ibrahim ada di
Palestina, sedangkan anak & istri (hajar) ada di Mekah. Ibrahim
mengganti kedekatan secara fisik dengan kedekatan spriritual. Dengan
doa.
Ketiga, memilih istri yang pandai mengasuh. Bahkan jauh sebelum diamanahi anak, seorang ayah sudah harus membuat perencanaan terbaik. Salah satunya dalam memilih pasangan. Sejarah
mencatat bahwa pilihan Ibrahim as adalah tepat. Siti Hajar terkenal
dengan kisah Shofa & Marwa. Dimana ia dengan heroik berupaya mencari
air bagi putranya Ismail, selepas ditinggal ayahanda Ibrahim karena
memenuhi titah Tuhannya. Kemudian mendidiknya sehingga Ismail “layak”
jadi nabi penerus ayahandanya.
Keempat,
memilih tempat tinggal yang baik. Ismail tumbuh besar di sekitar Kabah.
Pusat ibadat yang ramai dikunjungi. Lingkungan Kabah yang baik tentu
memberi pengaruh yang besar bagi Ismail.
Kelima,
selalu mengajak anaknya berdialog dalam setiap keputusan. Bahkan dalam
melaksanakan perintah dari Tuhan yang mutlak sekalipun. Contoh dialog
Irahim dengan Ismail ini terabadikan dalam Al Quran surat 37: 102.
Keenam,
menegakkan sholat untuk diri & keturunannya. Ini menciptakan
atmosfir religius dan semangat penghambaan pada Sang Pencipta. Inilah
basis pendidikan Ibrahim. Menjadi hamba Sang Khalik adalah pondasi bagi
pembebebasan manusia dari penghambaan antar sesama manusia. Maka
di hadapan manusia ia menjadi merdeka. Dan mempelakukan manusiapun
sebagai manusia merdeka pula. Tidak rendah diri, juga tidak arogan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar