Sumur artesis
lazim digunakan masyarakat sebagai sumber air untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Namun
tahukah anda bahwa dibalik pancaran air jernih sumur artesis
tersimpan bahaya yang mengancam lingkungan sekitar kita?
Istilah artesis ( artesian) diambil dari nama kota Artois (baca: artoa) di Perancis, atau orang Romawi menyebutnya Artesium. Di sinilah pertama kali aliran artesis (artesian flow) dipelajari.
Istilah artesis ( artesian) diambil dari nama kota Artois (baca: artoa) di Perancis, atau orang Romawi menyebutnya Artesium. Di sinilah pertama kali aliran artesis (artesian flow) dipelajari.
Sumur artesis
atau sering disebut sumur bor adalah sumur yang
sengaja dibuat untuk mengalirkan aliran air bertekan tinggi dari
akuiver (lapisan batuan penampung air) yang ada di dalam tanah ke
permukaan. Jika tekanan alaminya cukup tinggi, maka air akan memancar
keluar tanpa harus dipompa.
Sistem artesis tidak hanya berupa sumur bor. Sistem artesis juga dapat ditemukan di mata air-mata air tertentu yang airnya bersumber dari akuiver bertekanan tinggi. Mata air ini disebut dengan mata air artesis, seperti yang terdapat di Artois.
Penggunaan sumur artesis ini telah membawa manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat. Seperti yang dirasakan masyarakat Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Mereka tidak lagi khawatir kekurangan air seperti yang mereka alami beberapa tahun yang lalu.
Sistem artesis tidak hanya berupa sumur bor. Sistem artesis juga dapat ditemukan di mata air-mata air tertentu yang airnya bersumber dari akuiver bertekanan tinggi. Mata air ini disebut dengan mata air artesis, seperti yang terdapat di Artois.
Penggunaan sumur artesis ini telah membawa manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat. Seperti yang dirasakan masyarakat Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Mereka tidak lagi khawatir kekurangan air seperti yang mereka alami beberapa tahun yang lalu.
Sumur artesis
memang membawa banyak berkah bagi masyarakat. Akan tetapi, dibalik
berkah yang muncul bersama airnya, pembuatan sumur artesis dapat pula
menimbulkan kerugian. Salah satu yang utama adalah melemahnya
kestabilan lapisan tanah dan penurunan muka air tanah di sekitar
daerah artesis tersebut. Hal ini sudah terbukti di beberapa daerah di
Indonesia.
Penurunan permukaan tanah juga terjadi di Bandung dan sekitarnya. Sejak tahun 1972, setiap tahun terjadi penurunan muka air tanah antara 0,05 sampai 7,3 meter. Hingga tahun 2002, muka air tanah di Bandung berada sekitar 100 meter di bawah muka tanah (BMT). Akibat menurunnya muka air tanah, di beberapa tempat terjadi amblasan tanah. Selain itu, pencemaran air di beberapa daerah relatif tinggi. Dampak penurunan muka air tanah yang lain adalah terjadinya kekeringan terutama di daerah sekitar tempat pengambilan air.
Dampak yang lebih parah terjadi di Jakarta. Eksploitasi air tanah yang berlebihan ditambah dengan minimnya daerah resapan air telah “menenggelamkan” sebagian kecil wilayahnya. Wilayah-wilayah tersebut menjadi lebih rendah daripada permukaan air laut karena permukaan tanahnya turun.
Selain itu, air tanah yang terus menerus dialirkan ke permukaan mengakibatkan air laut mulai merembes ke dalam lapisan yang ditinggalkan air tanah tadi. Inilah yang menyebabkan kualitas air di daerah pesisir Jakarta tercemar. Limbah industri yang dibuang ke laut semakin memperparah kondisi air di daerah tersebut. H asil klasifikasi Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik.
Masyarakat pada umumnya memahami sumur artesis sebagai sumur yang dibuat cukup dalam untuk memperoleh air yang mengalir sendiri ke permukaan. Mereka menganggap air dari sumur artesis jumlahnya tidak terbatas karena terus-menerus memancar dari dalam tanah. Pemahaman yang salah tentang sumur artesis inilah yang membuat masyarakat mengeksploitasi air tanah secara besar-besaran.
Memancarkan air ke permukaan berarti mengurangi tekanan yang ada di dalam akuiver. Inilah yang kemudian membuat lapisan tanah yang berada di atas akuiver mengalami amblas. Peristiwa ini terjadi di daerah dengan tingkat eksploitasi air tanah yang tinggi dan resapan air yang rendah. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi seandainya pengambilan air tanah dalam jumlah besar diimbangi dengan pembuatan daerah resapan dalam jumlah besar pula.
Pembuatan daerah resapan dapat dikembangkan menjadi pembuatan sumur resapan sebagai alternatif sumber air masyarakat. Masyarakat tidak perlu menggunakan bor dan menggali dalam-dalam untuk menemukan air. Cukup dengan membuat daerah resapan, menambah lahan hijau, dan menggali sumur dangkal, air sudah bisa diperoleh.
Tidak ada yang salah dengan penggunaan sumur artesis. Selama tujuan penggunaannya baik dan hasilnya bermanfaat bagi kehidupan manusia, eksploitasi air tanah melalui sumur artesis boleh dilakukan. Hanya saja kita sebagai makhluk yang bijak dan berakal haruslah mengerti sejauh mana kita boleh melangkah dan mengambil tindakan supaya kejernihan air dari sumur artesis tidak berubah bencana di masa yang akan datang.
Penurunan permukaan tanah juga terjadi di Bandung dan sekitarnya. Sejak tahun 1972, setiap tahun terjadi penurunan muka air tanah antara 0,05 sampai 7,3 meter. Hingga tahun 2002, muka air tanah di Bandung berada sekitar 100 meter di bawah muka tanah (BMT). Akibat menurunnya muka air tanah, di beberapa tempat terjadi amblasan tanah. Selain itu, pencemaran air di beberapa daerah relatif tinggi. Dampak penurunan muka air tanah yang lain adalah terjadinya kekeringan terutama di daerah sekitar tempat pengambilan air.
Dampak yang lebih parah terjadi di Jakarta. Eksploitasi air tanah yang berlebihan ditambah dengan minimnya daerah resapan air telah “menenggelamkan” sebagian kecil wilayahnya. Wilayah-wilayah tersebut menjadi lebih rendah daripada permukaan air laut karena permukaan tanahnya turun.
Selain itu, air tanah yang terus menerus dialirkan ke permukaan mengakibatkan air laut mulai merembes ke dalam lapisan yang ditinggalkan air tanah tadi. Inilah yang menyebabkan kualitas air di daerah pesisir Jakarta tercemar. Limbah industri yang dibuang ke laut semakin memperparah kondisi air di daerah tersebut. H asil klasifikasi Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik.
Masyarakat pada umumnya memahami sumur artesis sebagai sumur yang dibuat cukup dalam untuk memperoleh air yang mengalir sendiri ke permukaan. Mereka menganggap air dari sumur artesis jumlahnya tidak terbatas karena terus-menerus memancar dari dalam tanah. Pemahaman yang salah tentang sumur artesis inilah yang membuat masyarakat mengeksploitasi air tanah secara besar-besaran.
Memancarkan air ke permukaan berarti mengurangi tekanan yang ada di dalam akuiver. Inilah yang kemudian membuat lapisan tanah yang berada di atas akuiver mengalami amblas. Peristiwa ini terjadi di daerah dengan tingkat eksploitasi air tanah yang tinggi dan resapan air yang rendah. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi seandainya pengambilan air tanah dalam jumlah besar diimbangi dengan pembuatan daerah resapan dalam jumlah besar pula.
Pembuatan daerah resapan dapat dikembangkan menjadi pembuatan sumur resapan sebagai alternatif sumber air masyarakat. Masyarakat tidak perlu menggunakan bor dan menggali dalam-dalam untuk menemukan air. Cukup dengan membuat daerah resapan, menambah lahan hijau, dan menggali sumur dangkal, air sudah bisa diperoleh.
Tidak ada yang salah dengan penggunaan sumur artesis. Selama tujuan penggunaannya baik dan hasilnya bermanfaat bagi kehidupan manusia, eksploitasi air tanah melalui sumur artesis boleh dilakukan. Hanya saja kita sebagai makhluk yang bijak dan berakal haruslah mengerti sejauh mana kita boleh melangkah dan mengambil tindakan supaya kejernihan air dari sumur artesis tidak berubah bencana di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar